Rabu, 22 Februari 2012

Dengan Gerilya, Sri Wahono Raup Omzet Miliaran

Bisnis Software
Dengan Gerilya, Sri Wahono Raup Omzet Miliaran
Erlangga Djumena | Kamis, 23 Februari 2012 | 08:55 WIB

KONTAN/DOK PRIBADISri Wahono


JAKARTA, KOMPAS.com -
 Sri Wahono selalu teguh pada impiannya. Nyatanya, mimpinya untuk menjadi pengusaha benar-benar terwujud. Keluar dari PNS, Wahono merintis usaha pembuatan software bisnis. Kini ia membukukan omzet miliaran rupiah dengan ribuan klien. 

Saat menyebut Lampung, mungkin di benak Anda tebersit gajah Way Kambas atau keripik pisang yang menjadi oleh-oleh khas daerah itu. Sebagai pria yang lahir dan besar di Lampung, Sri Wahono pun merasakan betul hal tersebut. Namun, ia juga ingin menunjukkan potensi Lampung lainnya, yakni sebagai penghasil peranti lunak (software) komputer yang mendunia. 

Dengan mengibarkan bendera Aztechsoft Internasional, ia menciptakan berbagai software bisnis. Ia membuat program penggajian, pembayaran kasir, hingga pencatatan data ekspor impor yang telah dipakai oleh 1.587 perusahaan. 

Tak ingin menikmati kesuksesan sendiri, Wahono pun mendorong orang lain untuk menjadi wirausahawan baru. Ia mengundang orang untuk menjadi agen pemasar produknya. Sekarang 23 diler yang tersebar di seluruh Indonesia mendistribusikan produknya. Dari sini, Wahono bisa mendulang omzet Rp 2,2 miliar per tahun. 

Pemuda 32 tahun ini bukan berasal dari keluarga yang melek teknologi. Orang tuanya adalah petani transmigran sederhana. Bahkan, profesi Wahono saat ini berbeda jauh dengan harapan orang tua yang menginginkannya menjadi ustad. Tak heran, dia menempuh pendidikan di sekolah agama.

Setelah lulus tes masuk Jurusan Teknik Sipil Universitas Lampung, jalan hidupnya berubah. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, ia bekerja di persewaan komputer milik teman. Di tempat inilah, ide untuk berbisnis software muncul, hingga ia mendapatkan proyek dari sebuah bank perkreditan rakyat dan Telkom di Lampung. Lantaran lebih asyik menjalani dunia programming, Wahono pun menanggalkan status mahasiswanya. 

Pilihan menikah di usia muda menghadapkannya pada kenyataan bahwa ia harus menghidupi istri. Akhirnya, saat memasuki milenium baru, ia memutuskan membuka toko kelontong bermodal Rp 1 juta. Di sela waktunya, Wahono pun menjadi desainer freelance surat kabar dan tabloid lokal. 

Tapi, ambisi lama berbisnis peranti lunak tak terbendung lagi. Beruntung, sang istri, Nunik Palupi, mendukung penuh mimpinya membuat software house. Nunik rela menjual perhiasan sebagai modal mendirikan CV Aztech pada 2001.

Keluar PNS

Selayaknya hukum alam, usaha dengan modal minim sering kalah bersaing dengan perusahaan bermodal lebih besar. Itu pula yang dialami CV Aztech. Penjualan software sepi karena hanya sedikit klien yang kenal atau percaya dengan software karya Wahono ini. 

Oleh karena itu, selain mengelola bisnis sendiri, Wahono juga melakoni pekerjaan di beberapa perusahaan secara berpindah-pindah. Pada 2004 ia diterima menjadi pegawai negeri sipil (PNS) di Dinas Pendapatan Daerah Lampung. Sayang, jiwa wirausaha yang terus bergejolak tak membuatnya betah. Hanya dua minggu Wahono menyandang status PNS. 

Nekat melepas status PNS, Wahono mulai serius menghidupi Aztechsoft. Dia menyemangati diri agar bisnis software-nya sukses. "Malu kalau berani keluar dari PNS tapi bisnis gagal," kata Wahono, terkekeh.

Karena itu, ia merekrut beberapa karyawan untuk memperkuat amunisi perusahaannya. Ia pun fokus menggarap software akuntansi untuk perusahaan dagang. Dengan nama program Acosys, Wahono menyebarkan program ini ke beberapa perusahaan sebagai uji coba.  Maklum, saat itu ada perusahaan software asal Jakarta yang mendominasi pasar peranti lunak di Lampung. Perusahaan-perusahaan besar pun menjadi klien mereka. 

Alhasil, Wahono yang hanya berkantor di kompleks terpencil harus cerdik menyusun strategi tanpa berpromosi. "Kalaupun pasang iklan, nanti calon klien malah kesulitan cari kantornya di mana," tuturnya.

Bersama karyawannya, Wahono menempuh strategi gerilya. Menawarkan peranti lunak dari kantor ke kantor, tanpa terdeteksi kompetitor yang lebih besar. Ia membidik perusahaan-perusahaan kecil yang berkantor di sekitar kantor perusahaan besar yang menjadi klien kompetitor.  Dengan strategi ini ia berharap perusahaan besar mendengar Acosys dari lingkungan sekeliling. Wahono juga mengutamakan layanan after sales service sebagai nilai lebih. 

Tiga tahun kemudian, sebagian perusahaan besar yang dia incar benar-benar tertarik dan berpindah menggunakan Acosys. Hingga tahun 2007, Aztechsoft sudah memiliki sekitar 300 klien. Wahono pun bisa membeli ruko sebagai kantor dan berani memasang iklan secara terang-terangan. 

Kini software Acosys sudah mencapai versi keempat. Wahono juga merambah pasar internasional. Ia sengaja membuat program dengan bahasa dan mata uang asing, seperti Jerman, Rusia, dan Timur Tengah. Respons positif dia terima dari beberapa perusahaan yang sudah mencobanya. Satu lagi bukti bahwa kegigihan membawa berkah. (Tendi Mahadi/Kontan)

--
______________________________________________
Persahabatan sejati layaknya arti kesehatan;
Nilainya baru kita sadari setelah kita kehilangannya...!!!!
______________________________________________


Minggu, 19 Februari 2012

Raup Puluhan Juta dengan Kue Berbahan Buah-buahan (INSPIRASI)

Inspirasi Usaha
Raup Puluhan Juta dengan Kue Berbahan Buah-buahan
Erlangga Djumena | Sabtu, 18 Februari 2012 | 06:29 WIB


TABLOID NOVA/AGUS DWIANTOCake Pisang Karamel

KOMPAS.com - Buah bisa menjadi bahan baku aneka kue yang lezat. Keuntungan dari bisnis makanan ini juga tidak kalah legit. Pengusaha kue berbahan baku buah bisa mengantongi omzet hingga Rp 100 juta per bulan bermargin 30 persen. Buah-buahan tak hanya bisa Anda olah menjadi minuman segar atau jus atau keripik buah. Melainkan, bisa juga menjadi bahan baku pembuatan aneka kue.

Tengok saja usaha Maria Wardhani, pemilik Rumah Pisang di Bekasi, Jawa Barat. Ia mengolah pisang menjadi cake dan kue kering.

Cara pembuatannya pun sangat mudah, sama seperti membuat cake atau kue pada umumnya. Langkah awalnya, Anda mesti membuat adonan berbahan terigu. Lalu, masukan pisang ambon atau sunpride yang sudah dihancurkan. Setelah bercampur, adonan dituangkan ke dalam cetakan dan siap dioven. "Jumlah pisang harus lebih dominan dari terigu supaya rasa pisangnya terasa," pesannya.

Maria memilih pisang sebagai bahan utama kue karena buah ini sangat populer dan telah lama menjadi favorit keluarga karena rasanya enak serta bergizi. "Pelanggan saya datang dari Jakarta dan Bandung," ujarnya.

Dia membanderol banana cake seharga Rp 50.000 per loyang. Adapun kue kering berbahan oatmeal Rp 35.000 per stoples. "Saya menyasar pelanggan kelas menengah atas," ungkapnya.

Dalam sebulan, Maria mengatakan, dirinya bisa menghasilkan omzet hingga Rp 30 juta. "Laba bersih yang bisa dikantongi mencapai 20 persen," tutur dia.

Namun, pasar cake dan kue kering pisangnya kurang berkembang lantaran tidak semua orang tahu pisang bisa menjadi bahan baku kue. Untuk mengatasi itu, Maria saat ini sedang giat menyebarkan pengetahuan tersebut lewat media online.

Pembuat cake buah-buahan lain, Decky Suryata, pemilik Salakka Pondoh di Sleman, Yogyakarta, juga merasakan manisnya bisnis kue berbahan baku buah. Dia kini mengolah salak menjadi roti atau kue kering.

Saat ini, ia menjual cake salak pondoh seharga Rp 30.000 per boks dengan rasa keju, original, cokelat, dan pandan. Adapun untuk bakpia salak pondoh, harganya Rp 25.000 per boks. "Omzet saya Rp 100 juta per bulan dengan laba 30 persen," jelasnya.

Dia bilang, 60 persen pelanggannya adalah wisatawan dan 40 persen sisanya penduduk lokal. Untuk pemasaran, Decky yang merupakan finalis Wirausaha Muda Mandiri 2012 membuka dua toko di daerah Sleman. "Ke depan, saya ingin kembangkan produk," ujarnya. (Fahriyadi, Noverius Laoli/Kontan)

--
______________________________________________
Persahabatan sejati layaknya arti kesehatan;
Nilainya baru kita sadari setelah kita kehilangannya...!!!!
______________________________________________


Ingin Sukses? Cat Rumah Anda dengan Warna Biru

Sabtu, 18/02/2012 10:13 WIB

Ingin Sukses? Cat Rumah Anda dengan Warna Biru

Arina Yulistara - wolipop 

img 
dok. Thinkstock
Jakarta - Pemilik rumah bercat biru cenderung lebih sukses daripada warna lain. Sebagian penghuni rumah bercat biru mempunyai jabatan direktur atau manajer. Kok bisa?

Menurut survei di Inggris yang dilakukan oleh Sandtex Paint, rata-rata pemilik rumah dengan cat berwarna biru memperoleh penghasilan 38 ribu Poundsterling atau sekitar Rp 541 juta setiap tahunnya. Kesimpulan itu didapat dari sebuah survei yang melibatkan 3.000 pemilik rumah.

Seperti yang dikutip dari Times of India, survei yang sama juga menemukan kesimpulan lain. Orang yang memiliki rumah dengan cat biru, diketahui mendapat dua kali promosi yang signifikan, setengahnya mencapai posisi sebagai direktur atau manajer dan paling sedikit mempunyai tiga orang 'bawahan' atau anak buah, serta pernah pergi berlibur ke luar negeri, setidaknya dua kali.

Selain itu, studi ini menemukan rata-rata yang tinggal di rumah biru mengendarai mobil Audi TT untuk bekerja. Pemilik rumah 'biru' juga merupakan pasangan yang langgeng dan memiliki dua anak dan empat teman dekat.

"Ini sangat luar biasa, warna rumah Anda bisa berpengaruh kepada kesuksesan Anda dalam karier atau di rumah. Hal ini tentu menunjukkan bahwa perbedaan orang-orang dalam mendekorasi rumah, tergantung pada bagaimana mereka bekerja profesional dalam kehidupan pribadi mereka," ujar Victoria Jones, juru bicara Sandtex Paints.

Lalu bagaimana dengan pemilik rumah dengan warna lain? Pemilik rumah berwarna merah mempunyai penghasilan sekitar 23.500 Poundsterling atau Rp 333 juta, Putih 23.400 Poundsterling atau Rp 332 juta, dan Coklat 18.400 Poundsterling atau Rp 261 juta. Pemilik rumah berwarna hijau disebut-sebut yang mempunyai pendapatan paling 'sedikit', yaitu 3.100 Poundsterling atau Rp 185 juta tiap tahunnya.

(eya/eya) 

--
______________________________________________
Persahabatan sejati layaknya arti kesehatan;
Nilainya baru kita sadari setelah kita kehilangannya...!!!!
______________________________________________


Rabu, 15 Februari 2012

Dari Kuli Panggul, Sumarna Jadi Juragan Cabai Beromzet Miliaran (SOSOK)

Erlangga Djumena | Kamis, 16 Februari 2012 | 05:10 WIB

KONTAN/MUHAMMAD YAZI
Sumarna


KOMPAS.com — Dari kuli panggul sayur-mayur di Pasar Senen, Sumarna banyak belajar tentang berbisnis sayur. Dari sana pula dia mencoba peruntungan dengan berani membuka lapak sayur sendiri. Dari cabai, omzet Sumarna kini Rp 3 miliar per bulan.

Tidak pernah ada yang menyangka jika lelaki paruh baya bernama Sumarna, pemilik kios di Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta Timur, itu seorang pebisnis ulung beromzet miliaran rupiah. Bisnisnya sih hanya dari berdagang cabai dan sayuran di Pasar Induk. Namun, jangan salah, dari bisnis ini ratusan juta rupiah saban hari mengalir ke kantong Sumarna.

Dari kios kecilnya yang ia beri nama Murah Rezeki, Sumarna mampu menjual 1,5 ton cabai merah, 2,5 ton cabai rawit, dan 6 ton bawang per hari. Saat ini harga cabai merah sekitar Rp 25.000 per kilogram (kg), cabai rawit Rp 12.000 per kg, dan tomat Rp 4.500 per kg. 

Dari penjualan itu, kini omzet yang dikantongi Sumarna setiap hari mencapai Rp 107 juta atau sekitar Rp 3 miliar per bulan. Dari situ, ia mengaku mendapatkan laba bersih 5 persen-10 persen. "Saya ambil untung bersih dari tomat bisa Rp 500 per kg, dan cabai sekitar Rp 1.000 per kg hingga Rp 2.000 per kg," ujarnya.

Tak mudah bagi Sumarna membesarkan usahanya itu. Sudah puluhan tahun, ia merintis bisnis ini hingga sebesar sekarang. Semua ini bermula pada awal tahun 1960-an, saat Sumarna merantau dari kampungnya di Serang, Banten, ke Jakarta. Tanpa bekal, ia merantau ke Jakarta. Pilihannya, bekerja serabutan. 

Selain menjadi pelayan, ia juga sekaligus menjadi kuli panggul sayuran di Pasar Senen, Jakarta Pusat. Lima tahun pekerjaan ini ia lakoni. Meski penghasilan mepet, Sumarna pandai menabung. Maklum, ia bertekad tidak mau seterusnya menggantungkan hidup sebagai kuli panggul. Merasa tabungannya cukup, Sumarna pun berani membuka lapak sendiri dengan memilih berdagang cabai.

Sumarna mengatakan, pekerjaan sebagai pelayan dan kuli panggul sangat membantunya ketika merintis bisnis ini. Dari sana, ia belajar memperoleh pasokan, dan menjalin relasi dengan pembeli dan pengepul sayur-mayur. Perlahan, usaha berdagang cabai Sumarna mulai berkembang. Setelah lima tahun berdagang di Pasar Senen, sekitar tahun 1970, Sumarna memutuskan pindah lapak ke Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta Timur.

Di tempat baru, Sumarna merintis usaha dari nol lagi. "Waktu saya buka di sana, modal saya hanya keberanian, kejujuran, serta kepercayaan dari pelanggan maupun pemasok barang," kata pria yang telah dikaruniai empat anak dan enam cucu ini.

Namun, berkat pergaulannya yang luwes, terutama dengan para pemasok dan pembeli, bisnis Sumarna terus membesar. Saat ini pasokan cabai, tomat, dan bawang ia peroleh dari Garut, Sukabumi, Padang, serta Bengkulu. Ia pun kini menjadi langganan tetap para pedagang berbagai pasar tradisional di Jakarta dan sekitarnya.

Dari berdagang cabai, Sumarna memiliki empat kios di Blok H Pasar Induk Kramat Jati. Satu kios ia gunakan sendiri untuk berdagang, sisanya disewakan ke pedagang lain. "Satu kios saya sewakan Rp 2 juta per bulan," imbuhnya.

Hasil keuntungan berjualan cabai ia putar untuk membeli tanah dan membeli angkutan kota. "Hasil dagang mesti pandai menyimpan. Dagang harus jujur dan jangan ijo kalau lihat duit," ujarnya.

Bak roda yang selalu berputar, bisnis Sumarna kerap mengalami pasang surut. Ia sukses membesarkan usahanya saat memutuskan pindah lokasi berjualan ke Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta Timur, pada tahun 1970. Pemilik kios Murah Rezeki ini terbantu berkat hubungan baiknya dengan relasi, seperti pelanggan maupun para pemasok dari Pasar Senen, Jakarta Pusat, lokasi kiosnya dahulu.

Dalam waktu singkat, usahanya dari berjualan cabai merah, cabai rawit, serta tomat di pasar induk makin berkibar. Ia pun berhasil melunasi cicilan kiosnya hanya dalam jangka waktu tujuh tahun. Selama sepuluh tahun berjualan, langganan tetap Sumarna adalah para pedagang pasar tradisional di Jakarta. Pada tahun 1980-an, komoditas dagangannya mulai merambah pusat perbelanjaan modern, seperti supermarket. 

Pada awalnya, ekspansi ke pasar swalayan itu berjalan lancar. Bahkan, dapat memperbesar pemasukannya. Namun, setelah sepuluh tahun berjalan, penjualannya di pasar modern merosot.  Bahkan, Sumarna sempat merugi ratusan juta lantaran barang yang rusak tidak diganti pihak swalayan. "Lama-kelamaan saya merugi karena mereka ambil barang dulu baru bayar," ujarnya.

Akhirnya, pada tahun 1990, Sumarna memutuskan berhenti memasok pasar modern. Untungnya, penjualan Sumarna di pasar induk tetap berjalan normal. Di pasar induk ini, ia tetap menjadi langganan para pedagang pasar tradisional di Jakarta dan sekitarnya, seperti Pasar Cengkareng, Pasar Jembatan Dua, dan Pasar Pesing. 

Dari situ keuntungan tetap mengalir ke kantong Sumarna. Sebagian besar laba jualan itu ditabungnya di bank. Dari hasil jerih payahnya, jumlah tabungannya mencapai miliaran rupiah. Namun, cobaan kembali menghampirinya. "Duit saya dikorupsi lima karyawan saya yang tidak jujur," ungkap dia penuh sesal.

Sumarna bercerita, penggembosan tabungan dilakukan secara bertahap sejak pada akhir tahun 2010. Pertengahan tahun 2011 ia baru menyadari tabungannya berisi Rp 1,8 miliar ludes dicuri pegawainya. Modus penilapan uang oleh karyawannya sangat merugikan Sumarna. Misalnya, dari pasokan 10 kg tomat, karyawannya hanya membayar ke pemasok sebanyak 3 kg. Kejadian itu berlangsung selama sekitar enam bulan. Tahu-tahu tagihan pembayaran dari pemasok menggelembung. "Jadi tanpa sadar, saya harus membayar pasokan barang sebanyak dua kali," ujarnya. 

Sadar telah tertipu, Sumarna langsung memecat kelima karyawannya. "Biarlah, saya hanya bisa menangis di batin saja dan tetap bertahan," kata dia.

Sebagai seorang pebisnis, Sumarna memiliki jiwa pantang menyerah. Kendati pernah nyaris bangkrut ketika ditipu karyawannya, ia tidak patah arang. Setelah ditipu karyawannya hingga miliaran rupiah, Sumarna sempat jatuh terpuruk. Usaha yang telah dirintisnya selama puluhan tahun nyaris bangkrut. Hampir saja ia berputus asa. "Saat itu modal saya habis, saya sangat syok dan ingin berhenti berdagang," kenang Sumarna. 

Namun, berkat dorongan para kolega dan keluarga, Sumarna pun mencoba bangkit kembali. Lantaran sudah mempunyai jiwa dagang sejak muda, tidak butuh waktu lama baginya untuk mengobarkan lagi semangat wirausahanya. Saat kembali mencoba bangkit, langkah pertama yang dilakukannya adalah memecat lima karyawannya yang diduga melakukan penipuan. 

Agar kejadian serupa tidak terulang lagi, ia merekrut karyawan dari kerabat sendiri. "Saya merekrut saudara dari kampung halaman," kata pria asli Serang, Banten, ini. 

Untuk menambah modal berjualan, Sumarna melego sebidang tanah miliknya seharga Rp 185 juta. Berkat keuletannya, selang enam bulan dari kasus penipuan, kondisi permodalan usahanya berangsur stabil. Alhasil, stok sayuran di kiosnya tetap tersedia dalam jumlah memadai. Tak heran bila kiosnya tetap diburu pelanggan dari kalangan pedagang pasar tradisional di Jabodetabek. Saat ini ia mampu melayani penjualan sekitar 1,5 ton cabai merah, 2,5 ton cabai rawit, dan 6 ton tomat per hari. 

Dari penjualan sebanyak itu, omzet mengalir ke kantongnya mencapai Rp 107 juta per hari atau Rp 3 miliar dalam sebulan. Kendati usahanya kini semakin membaik, Sumarna belum berencana melakukan ekspansi usaha dan menambah gerai penjualan cabai. Alasannya, usianya kini sudah tidak lagi muda. "Kalau umur saya masih muda mungkin saja ada pemikiran untuk membuka cabang lagi," jelas dia.(Noverius Laoli/Kontan)

--
______________________________________________
Persahabatan sejati layaknya arti kesehatan;
Nilainya baru kita sadari setelah kita kehilangannya...!!!!
______________________________________________



Selasa, 14 Februari 2012

Laba dari Mengajari Anak Membaca (INSPIRASI)


Erlangga Djumena | Rabu, 15 Februari 2012 | 06:35 WIB


KONTAN/DOK BIMBA


KOMPAS.com - 
Dewasa ini, anak sudah dituntut harus pandai membaca sejak sebelum masuk sekolah tingkat dasar. Terlebih, para penyelenggara sekolah dasar (SD) kini mewajibkan anak yang akan masuk SD harus sudah bisa membaca.

Alhasil, banyak orang tua memaksa anaknya belajar membaca sejak taman kanak-kanak (TK). Bahkan, pendidikan sebelum TK, semacam playgroup atau taman bermain, juga mulai mengajari anak didiknya membaca.

Peluang ini yang juga ditangkap Bimba AIUEO. Lembaga yang bernaung di bawah Yayasan Pengembangan Anak Indonesia (YPAI) ini berdiri sejak 1996 dan menawarkan kemitraan pada 2003.

Wiesnu Adi Birowo, Business Development YPAI, bilang, dari tahun ke tahun bisnis pendidikan anak usia dini (PAUD) makin menjanjikan. "Tingkat persaingannya belum terlalu ketat," ujarnya.

Ia mengklaim, kelebihan Bimba AIUEO terletak pada metode belajarnya. Yakni, menerapkan konsep belajar membaca sambil bermain. Tak heran, saat ini, Bimba AIUEO telah memiliki 500 cabang di Indonesia.

Dari 500 cabang itu, 52 di antaranya milik sendiri dan sisanya punya mitra. Anda tertarik? Ada enam paket yang ditawarkan. Setiap paket memberikan fasilitas seperti modul, karpet, spanduk, banner, dan tenaga guru. Hanya, jumlah item-nya saja yang berbeda di setiap paket.

Masa balik modal setiap paket sama, yakni 16 - 18 bulan. Laba bersih juga idem ditto, sekitar 15 persern. Begitu pun biaya pendidikan, Rp 175.000 per siswa per bulan.

Perincian paketnya: pertama, paket senilai Rp 18 juta. Dalam paket ini, mitra berwenang penuh mengendalikan operasional Bimba AIUEO dengan mengusung konsep satu ruang kelas. Omzetnya Rp 8 juta sebulan. Paket ini menerapkan bagi hasil 95 persen untuk mitra dan 5 persen pusat.

Kedua, paket senilai Rp 30 juta. Dalam paket ini mitra juga berwenang penuh mengendalikan operasional Bimba AIUEO dengan mengusung konsep dua kelas. Wiesnu menjanjikan, omzet Rp 17 juta - Rp 18 juta. Paket ini menerapkan bagi hasil 90 persen untuk mitra dan 10 persen pusat.

Ketiga, paket senilai Rp 30 juta. Di paket ini, operasional Bimba AIUEO dikelola oleh pusat. Karena itu, skema bagi hasilnya: 25 persen mitra dan selebihnya untuk pusat.

Keempat, paket senilai Rp 30 juta untuk wilayah kecamatan. Dalam paket ini, mitra berhak mengembangkan Bimba AIUEO di lingkup kecamatan dengan jumlah kelas minimal tiga. "Mitra boleh membuka unit sebanyak-banyaknya," ujar Wiesnu. Omzet mitra Rp 17 juta - Rp 18 juta per bulan, dengan bagi hasil 94 persen untuk mitra.

Kelima, paket senilai Rp 50 juta juga untuk kecamatan. Omzetnya Rp 30 juta per bulan. Sekitar 95 persen dari omzet menjadi bagian mitra.

Keenam, paket senilai Rp 150 juta untuk kabupaten. Mitra yang mengambil paket ini berhak mengembangkan Bimba AIUEO di kabupaten. Mitra juga boleh membuka empat kelas, dengan omzet Rp 60 juta per bulan.

Bije Widjajanto, pengamat waralaba dari daBen WarG Consulting, bilang, prospek bisnis PAUD masih cerah. Namun, itu tergantung lokasi. Sebab, "PAUD cocok di perkotaan," ucapnya. (Fahriyadi/Kontan)


http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2012/02/15/06355969/Laba.dari.Mengajari.Anak.Membaca

--
______________________________________________
Persahabatan sejati layaknya arti kesehatan;
Nilainya baru kita sadari setelah kita kehilangannya...!!!!
______________________________________________